Dikotomi pendidikan antara negeri dengan swasta pada level pendidikan tinggi telah dihapus sejak ditetapkannya UU DIKTI 12 tahun 2012, pada tanggal 10 Agustus 2012, tetapi pelaksanaannya molor hingga 6 tahun, padahal pasal 98 ayat 1, menunjukkan toleransi maksimal hanya 2 tahun sejak di tetapkannya UU DIKTI ini. Untung APTISI bersama jajarannya memahami semua ini, padahal Menteri bisa di diperkarakan oleh APTISI dengan Gugatan Class Action di Peradilan Tata Usaha Negara, alasannya tidak patuh menjalankan undang-undang, tetapi kami masih berbaik hati. Dalam sejarah republik Indonesia komunitas paling baik itu di pendidikan, tidak ada demo, tidak agresi macem-macem ibarat di departemen lain. Tetapi hal ini justru akan menimbulkan kinerja kementrian tidak sehat, jauh dari kritik dan saran. Semua yang memberi kritik dijauhi, bahkan tidak penting disapa, sehingga saya teringat contoh jaman Orba bahkan melebihi orba, tidak melayani. Dan seneng di puji-puji begitu pensiun atau tidak menjabat dijauhi semua orang.
Tanpa disadari “Kopertis selama ini telah memperkuat adanya dikotomi antara perguruan tinggi negeri dengan perguruan tinggi swasta,” berdasarkan Kemenristek dikti M. Nasir (Pos Kota, 9/1/15). Dan semestinya pendidikan tinggi tidak dipisahkan atau dibedakan antara negeri dan swasta. Mengingat baik pendidikan tinggi negeri maupun swasta mempunyai bantuan besar terhadap pencapaian angka partisipasi bernafsu (APK) pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya PTS. Karena pendidikan khususnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ialah kewajiban pemerintah.
Dan sekarang, sebagai gantinya dari Kopertis, pemerintah telah menyiapkan forum gres yakni Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2 Dikti), yang pimpinannya gres dilantik di Jakarta pada hari kamis, 26 Juli 2018. Lembaga ini mengakomodir kepentingan dan menunjukkan layanan baik kepada Perguruan Tinggi Negeri maupun PTS. Namun yang banyak kalangan Perguruan Tinggi Swasta khawatirkan jikalau pemerintah tidak menciptakan Permen dan petunjuk teknis yang baik, memutuskan kiprah dan fungsi sesuai pasal 57 ayat 3, maka akan mengulang insiden kopertis pada masa lalu, dimana terjadi raja-raja kecil di wilyah/daerah yang justru menghambat pelayanan, dan kontra produktif.
Dan kini malah fungsinya menjadi lain alat propaganda partai atau rezim, dengan mengumpulkan mahasiswa dan dosen, mendengarkan ceramah keberhasilan pemerintah, mereka mengeluh dan tidak bisa apa-apa, tapi paling hanya melaporkan pada saya sebagai ketua umum APTISI. Mestinya kopertis/dikti jauh mengeksplorasi kebutuhan dan permasalahan Perguruan Tinggi Swasta kemudian dibantu jalan keluar, bukannya civitas akademika mendengarkan ceramah propaganda dari menteri yang tidak terkait. Hal ini boleh-boleh saja asal betul atas kebutuhan akademik, bukan memaksakaan para pimpinan PTS, duh payah nih. Malah ke Bali dengan ngumpul dan baris angsa ala Rektor Indonesia kemudian “membuat kebulatan tekad” ini ialah rekayasa, habis waktu dan biaya, rakyat dan pimpinan PT tahu itu semua, arah tujuannya.
Saya ingat betul tahun 2000 sesudah pasca reformasi, APTISI meminta pengurusan perijinan di tarik ke pusat, untuk menghindari petak umpat yang sudah mengakar di kopertis di masa lalu. Tetapi ternyata berdampak sangat jelek dikala perijinan di tarik ke pusat, lebih tidak terkontrol dan berbiaya tinggi, akhir lamanya dan berbelit-belitnya SOP. Ditambah tidak ada aturan yang mengikat perihal peraturan tersebut, untung kini sudah ada Permen 100/2016 yang mengatur pendirian dan pencabutan perguruan tinggi, dan semakin terang dan cepat. Juga pelaksanaan ujian negara hingg tahun 1999, menjadi permasalahan nasional, yang ujungnya hanya menjadi permainan oknum-oknum tertentu, dan tahun 2000 APTISI meminta dibubarkannya ujian negara bagi PTS.
Namun sekali lagi insan selalu ingin terus berubah ke arah yang jauh lebih baik, dan terus lebih baik, maka diakui atau tidak hingga hari ini masih banyak keluhan berkenaan perijinan pendirian PTS, pembuatan prodi dan pengabungan PTS, walaupun sudah mengunakan online sistem, oleh karennya dengan pembubaran kopertis dan lahirnya L2Dikti semestinya pelayanan pada Perguruan Tinggi Swasta harus jauh lebih baik, tetapi banyak hal yang harus diperhatikan dalam tubuh L2DIKTI, alasannya SDM kan itu-itu juga, apakah menjamin perubahan dalam pelayanan yang lebih baik dan cepat, jikalau tidak ada perubahan tidak perlu di ganti L2DIKTI-nya tapi SDM-nya harus dilatih dan di didik, jikalau tidak berubah juga maka di pensiunkan lebih dini, alasannya mereka justru yang akan melukai masyarakat khususnya PTS.
Perjalanan waktu akan membuktikan apa L2DIKTI akan merubah lebih baik pendidikan tinggi di Indonesia atau justru menurunkan kualitas dan pelayanan pada perguruan tinggi, dan harus di pastikan pimpinan L2DIKTI harus orang-orang yang arif, amanah, mengayomi dan membimbing, punya pengalaman matang mengelola perguruan tinggi, sehingga bisa berkontribusi dengan baik. Karena selama ini masih ada koordinator kopertis yang merasa dirinya ialah atasan rektor/pimpinan PTS, mestinya keberadaanya hanya untuk melayani, bukan meminta dilayani, atau bahkan mempersulit urusan. Atau materi masih ada okunum-oknum karyawan kopertis yang sengaja mempersulit urusan Perguruan Tinggi Swasta alasannya dianggap tidak memberi manfaat buat pribadinya, tetapi yang bermanfaat untuk pribadinya urusan menjadi mudah. In sha allah APTISI punya catatannya, dari banyak sekali kawasan dan wilayah.
L2DIKTI seharusnya akan merubah lebih baik mutu dan layanan PT di Indonesia, jikalau dijalankan oleh pribadi-pribadi yang amanah dan berdedikasi tinggi dalam melayani masyarakat PT, dan betul akan menaikan Perguruan Tinggi Swasta yang selama ini di anggap sebagai warga negara kelas 2 (dua). Tapi sangat disayangkan Kemenristek dikti masih enggan menentukan koordinator kopertis dari kalangan PNS DPK, bahkan jikalau ada PNS yang mau pindah jadi PNS DPK tidak akan bisa, alasannya lebih mengutamakan perpindahan pada PTN. Sampai dikala ini hal-hal yang katanya dikotomi PTN-PTS prakteknya masih kental dijalankan di DIKTI, dan APTISI mempunyai catatan sangat banyak perihal dikotomi PTS-PTN dari perjalanan waktu ke waktu DIKTI ini, dan pengalaman yang menyakitkan bagi PTS.
Dan hingga dikala ini laporan-laporan dari APTISI Wilayah yang didapat masih ada praktek memandang Perguruan Tinggi Swasta ialah warga negara kelas 2 (dua), salah satunya usul APTISI kepada Presiden JOKOWI dan sudah dosetuju, biar Perguruan Tinggi Negeri bisa selektif mendapatkan mahasiswa baru, membuka prodi-prodi langka, dll., hingga dikala ini mereka masih mendapatkan mahasiswa dengan cara pukat harimau, padahal impian menristek dikti untuk bisa membawa Perguruan Tinggi Negeri bersaing ke World Class University (WCU), maka hal ini akan sulit menjadi kenyataan, boro-boro konsen ke WCU, sudah dipusingkan oleh hal-hal kecil ngurusin banyak mahasiswa.
Mestinya Perguruan Tinggi Negeri konsen ke kualitas WCU dengan full pembiyaan oleh pemerintah, jikalau perlu anggaran Perguruan Tinggi Negeri di naikan 3 kali lipat, toh kenyataannya juga Perguruan Tinggi Swasta sangat kecil dan minim anggarannya sekitar 7% dari anggaran DIKTI/pemerintah, padahal jumlahnya 3000an dibawah dikti jika. Maka mestinya urusan kenaikan angka partisipasi bernafsu diserahkan pada Perguruan Tinggi Swasta saja, yang menyebar di seluruh Indonesia, yang dibantu kegiatan Pendidikan Jarak Jauh, yang selama berpuluh puluh tahun diberikan Privilage pada Universitas Terbuka saja.
Apalagi persyaratan Perguruan Tinggi Negeri yang berbadan hukum, PTBH (perguruan tinggi berbadan hukum) mengharuskan PT tersebut harus berdikari mencari dana, maka yang termudah dengan menambah mahasiswa, tetapi hal ini menjadi paradok dengan kualitas dan persyaratan indikator untuk menjadi PT top di WCU.
Jadi permasalahan metamorfosis L2DIKTI di wilayah-wilayah ini ada tiga besar, pertama tuntutan PTS, biar L2DIKTI menunjukkan layanan yang jauh lebih baik dan humanis dari pada Jakarta. Kedua wisuda bagi Perguruan Tinggi Swasta tidak menjadi sakral lagi, alasannya tidak ada ke harusan di datangi oleh Kopertis kini L2DIKTI, atau pejabat terkait, alasannya Perguruan Tinggi Negeri tidak akan melaksanakan hal itu ibarat PTS. Ketiga tuntutan dari PTN, yang tentu harapnnya jauh lebih baik, alasannya Perguruan Tinggi Negeri biasa menerima PRIVILEGE, jikalau berurusan dengan Jakarta, dengan adanya L2DIKTI harus antri dengan Perguruan Tinggi Swasta kecil dan hak yang sama, justru malah menjauhi harapan PTN. Keempat ialah Rektor Perguruan Tinggi Negeri bisa naik tensi darahnya kalau menghadapi Ketua L2DIKTI yang sok “ngebos”, pengin dilayani dan semua urusan L2DIKTI rektor-nya harus tiba ke kantor L2DIKTI, dihentikan diwakilkan, wah repot. Dan hal ini di alami oleh pimpinan Perguruan Tinggi Swasta di masa kemudian oleh oknum koordinator kopertis.
APTISI menyadari masih banyak Perguruan Tinggi Swasta yang sangat perlu uluran tangan pemerintah, ada juga Perguruan Tinggi Swasta yang sudah berkualitas dan sehat, namun ada juga Perguruan Tinggi Swasta yang pembangkang dan “Ndableg” melanggar banyak sekali aturan, maka APTISI meyakini setiap perubahan niscaya ada konsekwensinya, mudah-mudahan lahirnya L2DIKTI menjadi angin segar buat semua pihak dan saling menyadari perubahan ini tujuannya ialah nyata, bahwa Perguruan Tinggi Swasta ingin jauh menikmati layanan pemerintah, yang membuktikan bahwa pemerintah ada dan hadir di tengah-tengan PTS, walaupun tidak berbentuk dukungan materi ibarat Perguruan Tinggi Negeri yang anak kandung, alasannya pasal 57 perihal forum layanan pendidikan tinggi di UU DIKTI 12/2015, APTISI yang mengusulkan, biar layanan Dikti mendekati rakyat sebagai konsumen. Sehingga bunyi sumbang pada pelayanan di Jakarta semakin merdu terdengar alasannya di ganti oleh pelayanan L2DIKTI.
Namun APTISI tetap optimis pemerintah dalam hal ini Kemenristekditi akan bisa memperbaiki kualitas dan layanan kopertis yang berkembang menjadi jadi L2DIKTI, yang akan dikelola oleh SDM yang telah berubah sudut pandangnya untuk melayani, semoga hal ini bisa tercapai, sehingga Perguruan Tinggi Swasta khususnya tidak dianggap lagi warga negara kelas 2 (dua).
PTS akan menyatakan Menteri Ristekdikti berhasil dan sukses, jikalau kemetrian ini sudah bisa menjalankan UU Dikti 12 tahun 2012, yang semangatnya menghilangkan dikotomi PTS-PTN, sudah tidak ada lagi. Kita buktikan dalam waktu bersahabat ini, apa pimpinan L2DIKTI dan staf-nya lebih santun dan melayani atau sebaliknya, dan menghilangkan dikotomi PTS-PTN. Namun APTISI mengakui sudah ada beberapa kopertis dan koordinatornya memang sudah anggun menunjukkan layanan pada PTS, dan layak menjadi Ketua L2DIKTI, tapi masih ada yang di bawah standar, dan mestinya tidak layak jadi ketua L2DIKTI, tapi sudah terlanjur dilantik. Semoga dengan goresan pena tidak menaikan tensi darah yang membaca, tetapi goresan pena ini harus mengugah semua pihak termasuk organisasi APTISI untuk menunjukkan sesuatu yang terbaik untuk Bangsa Indonesia tercinta, kini dan dimasa mendatang, dan semoga Kemenristik semakin maju dan berkarya untuk bangsa. Aamiin, semoga.
Lombok, 27 Juli 2018.
M Budi Djatmiko
Catatan : M Budi Djamiko, Ketua Umum APTISI Pusat dan Ketua Umum HPT Kes Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar