Jumat, 22 Maret 2019

Orang Indonesia Kurang Terlatih Memakai Otaknya #2



Sekedar Share
Di kantor saya, MACS909, ada seorang temen namanya Adhi Djimar (Sekarang udah almarhum). Dia sering bercerita ihwal pengalamannya dulu sewaktu kuliah di New York. Ada satu kisahnya yang sangat menarik. Waktu itu Adhi sedang mengikuti mata kuliah Business Development. Adhi berkisah bagaimana selama 1 semester itu dosennya mengajar dengan cara yang unik.

Hari pertama, semua mahasiswa dalam kelas ditanya bisnis apa yang akan mereka bangun. Jawaban ditulis di kertas kemudian kertas tersebut dikumpulkan di meja dosen. Adhi menulis bahwa beliau akan membangun sebuah cafe. Hahahaha... Adhi itu satu spesies sama saya. Dulu kami doyan banget hang out di kafe.

"Okay, selama 1 semester ini kalian harus menciptakan tawaran bisnis ke investor. Kaprikornus silakan susuri kota New York untuk merealisasi business plan kalian," kata Sang Dosen.

"Ke investor? Yang nyari investornya siapa?" tanya seorang mahasiswa.

"Saya yang akan bawa investornya," jawab Pak Dosen.

"Jadi tiap kuliah kita akan diskusi rame-rame ngebahas tawaran masing-masing?" tanya yang lain.

"Kita gak ada jadwal kuliah lagi. Kaprikornus siapa yang mau memberikan progress report bisnisnya, silakan telepon saya. Kita akan bikin kesepakatan bertemu. Kalian akan saya hadapi satu persatu."

"Gak ada kuliah di kelas sama sekali?" tanya Adhi keheranan.

"Gak ada. Kuliahnya berlangsung one on one. Kita sanggup ketemu di resto, kafe atau di perpustakaan."

Minggu depannya, sesudah blusukan di kota Big Apple untuk mencari lokasi, Adhi menelpon Sang Dosen dan bikin kesepakatan untuk mempresentasikan progress reportnya.

"Kamu mau buat kafe di distrik ini?" tanya Sang Dosen sambil menunjuk peta yg digelar Adhi di meja.

"Betul, Pak."

"Pertanyaan saya. Ada berapa kafe di sana? Apakah ada pengkategorian dari kafe-kafe tersebut? Kafe yang terdapat dalam 1 kategori punya diferensiasi apa dibanding yang lain?"

Adhi yang tidak siap mendengar pertanyaan dosennya eksklusif gagap. Dia minta waktu untuk untuk menjawab pertanyaan itu di pertemuan berikutnya. Sang dosen mengangguk tanda setuju.

"Jadi kapan kita sanggup ketemu lagi, pak?" tanya Adhi.

"Kamu gak usah tanya kapan waktunya. Silakan atur waktu sendiri. Pokoknya setiap kau merasa ada progress yang pantas dilaporkan, silakan telpon saya."

Di pertemuan kedua, Adhi sudah siap dengan balasan dan dengan PD eksklusif mempresentasikannya pada Sang Dosen.

"OK, jadi kau punya 20 kompetitor. Nah, berapa sewa lokasi yang harus kau keluarkan? Datanya harus tepat. Tidak boleh menurut perkiraan."

"OK, nanti saya cari datanya."

"Hitung juga berapa biaya untuk design interiornya. Perhitungannya harus akurat dari interior designer beneran."

Di pertemuan ketiga, Sang Dosen mempertanyakan soal sasaran audience. "Target yang akan kau tuju apakah konsumen gres atau merebut pasar kompetitor?"

"Mencari konsumen baru..." jawab Adhi ragu-ragu.

"Mereka itu siapa? Kenapa selama ini mereka gak pernah nongkrong di kafe? Lalu apa taktik kau supaya orang-orang tersebut akibatnya mau pergi ke kafe dan menentukan kafe kamu?"

Adhi makin bingung, "Eeee...mungkin saya akan merebut konsumen kafe lain juga. Kaprikornus saya punya dua sasaran sasaran."

"Konsumen biasanya sangat loyal pada kawasan nongkrongnya. Mereka sulit diajak berpindah tempat. Strategi apa yang menciptakan kau berharap mereka akan eksodus ke kafe kamu."

"Harga bir di kafe saya jauh lebih murah..." jawab Adhi sekenanya.

"Berapa harga bir di kawasan lain?"

"Belum saya cek."

"Silakan dicek harga bir di 20 kafe kompetitor kamu. Apakah semua harganya sama. Supaya datanya akurat, kau sanggup memotret harga-harga tersebut di buku sajian yang terdapat di sana."

"Ok, Pak."

"Kalo harganya beda, coba cek kenapa sanggup beda. Pilih yang paling murah kemudian hitung, kafe kau sanggup ngasih lebih murah sampe berapa persen. Perhitungannya harus akurat dari orang finance beneran. Karena berbisnis gak boleh rugi."

Pertemuan berikutnya, Adhi kembali dicecar pertanyaan. "Apakah kau menyediakan entertainment? Kalo iya, berapa biaya yang harus kau keluarkan untuk itu. Seberapa signifikan entertainment itu menghipnotis jumlah pengunjung?"

Pertemuan selanjutnya, "Kamu mau bikin dapur gak? Apa pengunjung cuma dikasih snack-snack aja? Kalo pake dapur berapa investasi yang harus dikeluarkan?"

Karena capek harus bolak-balik melulu, Adhi nanya, "Bisa gak semua pertanyaan Bapak disampaikan kini sekaligus? Supaya kerja saya lebih efisien..."

"Gak bisa. Saya tidak pernah menyiapkan pertanyaan apapun. Pertanyaan saya impulsif menurut progress report yang kau sampaikan."

"Okay kalo begitu. Saya sempurnakan lagi proposalnya." Kata Adhi dengan hati gundah. Sudah berbulan-bulan beliau mengerjakan tawaran tersebut tapi dosen ini gak pernah puas. Selalu saja beliau menemukan suatu kesalahan yang gak terpikirkan oleh Adhi.

"Kalo datanya sudah lengkap, coba kau ulik lagi taktik bisnis kau menurut data yang baru."

"Baik, Pak."

"Yang paling penting, kau harus bikin estimasi berapa usang sanggup mencapai Break Even Point. Makin singkat waktunya, investor makin tertarik."

"Siap, Pak."

"Jika tawaran kau sudah selesai dan saya anggap layak present, saya akan bawa investor untuk evaluasi selesai tawaran kamu." sahut Si Dosen menepuk-nepuk bahu Adhi kemudian meninggalkannya sendiri di resto kecil kawasan diskusi mereka.

Waktu berlari begitu kencang dan tau-tau Adhi sudah berada di ujung semester. Akhirnya hari yang mendebarkan itu tiba. Di sebuah resto, Adhi mempresentasikan tawaran bisnisnya. Semua sudah dilengkapi dengan detil hingga ke angka-angkanya pun sudah aktual.

Sesuai janji, hari itu Sang Dosen mengajak investor untuk ikut menilai kiprah Adhi. Selesai presentasi, ketiganya terdiam. Adhi menunggu masukan dari Sang Dosen sementara Si Dosen menunggu komentar Sang Investor.

Setelah menghela napas panjang, Si Investor berkata, "Bisnis Kafe di New York sudah red ocean. Selama 5 tahun belakangan ini, saya tidak pernah melihat ada kafe gres yg sukses."

Adhi mulai putus asa. Sementara Sang dosen masih bengong hingga si investor melanjutkan omongannya.

"Kecuali kalo kau punya sesuatu yang breakthrough, mungkin saya akan pertimbangkan. Tapi saya gak menemukan sesuatu yang baru. Dari segi bisnis, tawaran ini terlalu basic. Saya tidak tertarik sama sekali. Sorry."

Hancurlah perasaan Adhi. Dengan langkah lunglai, beliau pun pulang ke apartemennya. Hampir setengah tahun beliau menghabiskan waktu mengubek-ubek kota New York demi menciptakan tawaran bisnis yang keren. Dan tragisnya, jerih payah itu berakhir cuma dengan kalimat, "Proposal kau terlalu basic. Saya tidak tertarik. Sorry."

Tapi Tuhan itu memang maha humor. Di papan pengumuman ternyata nama Adhi tercantum sebagai mahasiswa yang lulus. Bukan cuma lulus tapi lulus dengan nilai A.  Yeay! Saking senengnya, Adhi eksklusif menelpon dosennya dan menanyakan alasannya kenapa beliau sanggup lulus.

"Kok pake ditanya segala? Alasannya niscaya sebab tawaran bisnis kau keren. Yang kau lakukan selama 1 semester ini yaitu beneran yang ada di dunia nyata." Terdengar balasan dosen di ujung telepon.

"Tapi investor itu menolak tawaran saya?" tanya Adhi masih bingung.

"Semua investor niscaya akan menolak tawaran kamu. Tapi itu bukan berarti tawaran kau jelek, kan?"

Adhi masih belum mengeluarkan bunyi hingga terdengar lagi bunyi dari seberang sana.

"OK, congratz Adhi. Go somewhere and celebrate. Bye!" kata Pak Dosen menutup teleponnya.

Saya terkagum-kagum mendengar dongeng Adhi. Selama jadi mahasiswa, saya selalu kuliah beramai-ramai. Dan biasanya kami sering menentukan kawasan duduk paling belakang semoga gak ditemukan dan ditanya-tanya sama guru.

Yang terjadi pada Adhi yaitu sebaliknya. Dia yang harus mencari dosennya. Dia harus berhadapan sendiri di depan dosen tanpa teman. Bahkan Adhi jugalah yang harus menentukan sendiri jadwal kuliahnya.

Tapi yang paling saya suka dari dongeng Adhi yaitu cara dosennya mengajar. Metode yang digunakannya sangat menciptakan mahasiswanya BERPIKIR. Membuat mahasiswanya terlatih untuk senantiasa memakai otaknya. Keren ya?

Al Fatihah buat Adhi Djimar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar